Oleh: Moch.
Ari Nasichuddin
Mohammad Hatta adalah salah satu tokoh perjuangan kemerdekaan yang mempunyai
ide bahwa kooperasi merupakan ideologi ekonomi yang cocok untuk
Indonesia. Selain itu, Hatta adalah salah satu perancang pasal
tentang ekonomi dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, yakni Pasal 33.
Informasi itu dikatakannya dalam buku berjudul Membangun
Koperasi dan Koperasi Membangun
(MKKM), sebuah buku yang berisi kumpulan pidatonya pada setiap
peringatan Hari Kooperasi rentang 1951 hingga 1970-an
dan pidatonya pada pembukaan forum-forum kooperasi. Di buku itu,
Hatta juga secara khusus mengupas bagaimana memperkuat kooperasi dari
jalur pendidikan.
Memperkuat
kooperasi dari jalur pendidikan menjadi penting karena pendidikan
merupakan sarana untuk menanamkan ideologi kooperasi dari generasi ke
generasi. Hatta berbicara tentang pendidikan kooperasi dalam MKKM
pada artikel berjudul “Pendidikan Menengah Koperasi”. Secara
ideologis Hatta mengatakan bahwa kooperasi yang dikehendaki oleh UUD
1945 ialah kooperasi sebagai dasar perekonomian. Ini berbeda dari
kooperasi di Barat yang menjadi sarana untuk memperoleh pembagian
yang lebih adil di tengah perekonomian kapitalisme dan untuk mencapai
produksi dan penjualan yang lebih rasional. Sebagai dasar
perekonomian, cita-cita kooperasi dimaksudkan untuk menentang
individualisme dan kapitalisme secara fundamental. Paham kooperasi
Indonesia menciptakan masyarakat Indonesia yang kolektif, berakar
pada adat istiadat hidup bangsa Indonesia yang asli tapi ditumbuhkan
pada tingkat yang lebih tinggi sesuai dengan tuntutan zaman modern.
Sistem kerja kooperasi mengutamakan kerjasama dan suasana gotong
royong dan bebas dari paksaan.
Pendidikan
kooperasi mempunyai cita-cita membentuk orang dengan sifat-sifat yang
diperlukan untuk mengembangkan kooperasi yang sejahtera. Hatta
menyebut sifat-sifat itu terdiri dari: rasa solidaritas,
individualitas, kemauan dan kepercayaan pada harga diri sendiri dalam
persekutuan untuk melaksanakan self-help,
cinta kepada masyarakat, serta rasa tanggung jawab moral dan sosial.
Dalam
buku MKKM,
Hatta mengatakan bahwa rasa solidaritas sebenarnya sudah dimiliki
oleh bangsa Indonesia yang asli. Rasa tolong-menolong dan gotong
royong sudah tertanam dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Untuk
itu,
harusnya rasa solidaritas tidak susah untuk diajarkan kepada para
calon kader kooperasi, karena sejak awal mereka sudah tumbuh dalam
budaya solidaritas yang kental. Tetapi,
rasa solidaritas saja tidak cukup untuk membangun sebuah kooperasi
ekonomi. Rasa itu hanya bisa dipergunakan untuk membangun kooperasi
sosial yang dimaksud Hatta,
seperti gotong royong dalam membuat rumah dan mengerjakan sawah.
Selain butuh rasa solidaritas,
untuk membangun kooperasi ekonomi juga diperlukan sifat
individualitas.
Harus
dipahami bahwa individualitas berbeda dengan individualisme. Hatta
menjelaskan bahwa individualisme adalah paham yang mendahulukan
orang-seorang dari masyarakat. Sementara itu, individualitas
merupakan kesadaran seseorang akan kapasitasnya atau bisa dikatakan
kepercayaan diri suatu individu. Kepercayaan diri ini tidak tumbuh
begitu saja, mesti dipicu dengan didikan dan asuhan. Dan sifat
tersebut menjadi kunci tumbuhnya rasa ingin mandiri, memperbaiki
nasib dengan tenaga sendiri. Apabila dihubungkan dengan rasa
solidaritas, semangat untuk mandiri ini akan semakin kuat.
Untuk
merealisasikan visi pendidikan kooperasi di atas, visi tersebut perlu
diajarkan pada setiap sekolah formal yang ada di Indonesia sebagai
wujud konkret mencetak masyarakat yang berjiwa kooperasi. Untuk
konteks sekolah formal, Hatta mengatakan dalam seminar kooperasi di
Yogyakarta pada 1958, perlu dibentuk sekolah menengah kooperasi.
Tujuannya adalah demi mewujudkan tenaga ahli dalam bidang kooperasi.
Ahli di sini tidak hanya secara teknis tapi juga secara ideologi. Ide
pembentukan sekolah menengah kooperasi didasari oleh keinginan Hatta
dalam rangka mencetak kader-kader kooperasi di daerah,
sehingga harapannya semakin banyak kooperasi yang berkualitas.
Semenjak itu,
banyak sekolah menengah kooperasi dibuka di berbagai daerah.
Sekolah
Menengah Kooperasi Dewasa Ini
Lantas,
apakah sekarang ini masih ada sekolah formal yang mengajarkan
nilai-nilai kooperasi? Dan bagaimana nasib sekolah menengah kooperasi
dewasa ini?
Sejauh
penulis telusuri, riwayat sekolah menengah kooperasi saat ini berada
di ujung tanduk. Sekolah-sekolah menengah kooperasi di beberapa
daerah sudah gulung tikar. Sekolah menengah kooperasi yang tersisa
salah satunya berada di Yogyakarta. Selain di Yogyakarta, ada SMP
Koperasi, SMA Koperasi, dan SMK Koperasi di Pontianak. Cerita
mencengangkan terjadi di SMK Koperasi Pontianak.
Sekolah itu mau tidak mau mesti berkompromi dengan pasar agar
mendapatkan perhatian publik. Masyarakat menilai sekolah formal
dengan identitas kooperasi bukanlah hal yang menarik. Jalan keluar
pun dibuat untuk memecah kebuntuan itu,
salah satunya dengan menonjolkan kegiatan ekstrakurikuler di dalam
sekolah. Kebijakan lain yang lebih radikal adalah membuka jurusan
yang tidak berkaitan dengan ekonomi dan kooperasi. SMK Koperasi
Pontianak pun membuka jurusan komputer dengan materi pelajaran
rekayasa perangkat lunak. Pembukaan jurusan komputer ini didasari
oleh pembacaan pihak pengelola sekolah bahwa masyarakat membutuhkan
sekolah yang bisa mengasah keahlian khusus pada siswa, dalam hal ini
adalah keahlian komputer.
Dari
contoh tersebut, kita bisa melihat wujud keadaan sekolah formal yang
notabene dijadikan sarana penanaman ideologi kooperasi malah tidak
mampu
hidup dan mesti mengikuti tuntutan pasar demi mendapatkan siswa.
Otomatis sekolah seperti itu akan berkemungkinan kecil menghasilkan
kader-kader kooperasi yang mampu mendirikan kooperasi di daerah
mereka. Hal itu terbukti dari lulusan SMK Koperasi Pontianak.
Lulusan sekolah itu belum ada yang bekerja di kooperasi atau
mendirikan kooperasi. Padahal,
Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah memosisikan sekolah
formal sebagai sarana pemahaman perkooperasian.
Sebenarnya
ada kaitan antara keberadaan sekolah formal beridentitas kooperasi
yang jumlahnya terus berkurang dan kondisi gerakan kooperasi semasa
Orde Baru (Orba). Kebijakan ekonomi Orba yang lebih meningkatkan
pertumbuhan ekonomi industrialisasi turut menjadi faktor. Kooperasi
mengalami perubahan nilai dan hakikat. Sistem pemerintahan terpusat
pada masa Orba menjadikan kooperasi sebagai alat kepentingan politik
guna menancapkan kuku-kuku kekuasaan sampai level bawah.
Pada
aspek politik hukum, UU Nomor 12 Tahun 1967 tentang Koperasi dan
perubahannya menjadi UU Nomor 25 Tahun 1992 dibangun dengan persepsi
yang salah tentang kooperasi. Melalui Instruksi Presiden Nomor 14
Tahun 1984, pemerintah mendorong Koperasi Unit Desa (KUD) yang sangat
instan, politis, tidak memberdayakan dari bawah sesuai potensi
manajemen, birokratis, dan sarat korupsi. Hal itu memunculkan stigma
buruk terhadap kooperasi. Potret buruk itu membuat kooperasi di
Indonesia menjelma sebagai wujud kegagalan pembangunan sehingga
masyarakat pun memandang kooperasi sebelah mata. Kebijakan
developmentalis semasa Orba membawa implikasi pada turunnya
kepercayaan masyarakat terhadap sekolah formal yang mengedepankan
kooperasi.
Pendidikan
Kooperasi di Perguruan Tinggi
Tidak
berhenti hanya pada pendidikan formal tingkat SMP, SMA, dan SMK,
persoalan pendidikan kooperasi di tingkat perguruan tinggi juga
memprihatinkan. Beberapa perguruan tinggi di Indonesia meniadakan
mata kuliah kooperasi dari kurikulum belajar mereka. Hal ini
dikarenakan mata kuliah kooperasi dinilai tidak populer (baca: tidak
sesuai tuntutan pasar) dan mahasiswa memandang kuliah tersebut
sebelah mata. Tidak mengherankan, generasi muda yang memahami ilmu
tentang kooperasi pun makin sedikit.
Menurut Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia,
Sri-Edi Swasono,
kondisi perguruan tinggi,
khususnya fakultas ekonomi,
yang sedemikian itu membuat perguruan tinggi di seluruh Indonesia
berpihak pada kelompok kapitalis.
Mata
kuliah kooperasi sekarang ini memang tidak menjadi mata kuliah utama,
selain dipandang sebelah mata dan tidak bergengsi.
Banyak
kalangan yang menilai mata kuliah kooperasi tidak mampu memberikan
daya tarik. Pengajaran mata kuliah kooperasi kurang memberikan contoh
yang inspiratif dan memotivasi mahasiswa,
serta tidak mampu memberikan ideological
bearing
untuk memantik semangat belajar dan komitmen ilmiah.
Kekurangan
yang lain ialah pengajar atau dosen mata kuliah kooperasi belum mampu
menandingi pemikiran ekonomi yang didominasi oleh sistem ekonomi
pasar (liberalisme-kapitalisme). Pengajar belum mampu menyejajarkan
peran ekonomi kerjasama (co-opperativism)
dengan peran ekonomi yang berwacana persaingan (competitionism).
Proses pembelajarannya pun kurang memberi contoh yang berisi studi
kasus keberhasilan-keberhasilan kooperasi. Dosen seringnya kurang
memadukan mata kuliah tersebut dengan mata kuliah lain,
seperti ekonomi pembangunan, ekonomi perencanaan, dan sistem ekonomi.
Tak jarang pula,
mata kuliah kooperasi diajarkan dengan menekankan rentetan peristiwa
daripada pemikiran dan perjuangan dari segala dimensi,
mulai dimensi historis, sosial, kultural, hingga ideologi.
Semestinya
mata kuliah kooperasi mampu mengajarkan ideologi ekonomi yang penuh
dengan tuntutan moral-kultural dan motif-motif etis, mengingat
sekarang ilmu ekonomi kurang akan nilai moral dan terlalu
mengedepankan kepuasan maksimal dan keuntungan maksimal.
Ada
dua posisi yang bisa ditempati mata kuliah kooperasi untuk menegaskan
dirinya dalam sistem ekonomi, baik secara makro maupun mikro. Secara
makro, mata kuliah kooperasi harus mampu untuk tidak hanya menjadi
solusi atas sistem ekonomi yang sekarang, tapi juga mesti mampu
menyebarkan semangat antieksploitasi, kedaulatan, dan demokrasi.
Dengan demikian,
mata kuliah kooperasi dapat menjadi pendorong demokratisasi ekonomi.
Untuk
itu, dosen-dosen mata kuliah kooperasi mesti mengetahui perkembangan
terbaru dari gerakan kooperasi,
baik dalam negeri maupun mancanegara. Dosen pun perlu lebih kreatif
dalam memberikan perspektif pemikiran guna menanggapi kondisi ekonomi
yang tidak adil, cenderung eksploitatif, tidak
partisipatif-emansipatif, termasuk proses swastanisasi yang bukan go
public.
Apabila dosen mampu merespons permasalahan ekonomi seperti telah
disebutkan, harapannya mampu menarik semangat para mahasiswa,
sehingga mahasiswa mampu menunjukkan kemauan terhadap permasalahan
itu.
Secara
mikro, mata kuliah kooperasi mesti mampu didorong kembali ke
khittahnya,
yakni untuk membangun kooperasi berdasarkan prinsip-prinsip dan
nilai-nilai dasar kooperasi. Prinsip dan nilai ini sudah ditegaskan
dalam kongres International Co-operative Alliance (ICA) pada 1995 di
Manchester, Inggris,
serta mengacu pada nilai dan prinsip pendidikan kooperasi yang
dikemukakan Hatta.
Menghadapi
kondisi pendidikan bercorak kooperasi yang buruk seperti sekarang,
beberapa upaya telah dilakukan perguruan tinggi untuk tetap mengikat
kurikulum ekonomi berbasis kooperasi dalam kampus mereka.
Salah satu upaya itu ialah penandatanganan nota kesepakatan antara
perguruan tinggi negeri/swasta se-Jawa Timur dengan Dewan Koperasi
Indonesia Wilayah Jawa Timur dan Dinas Koperasi dan UMKM Provinsi
Jawa Timur pada 6 Januari 2012. Implikasi penandatanganan nota
kesepakatan itu ialah perguruan tinggi mesti mengajarkan kurikulum
berbasis kooperasi. Dari situ,
perguruan tinggi diharapkan mampu memberi pengertian teoretis bahwa
paham neoliberal yang kini sedang mencengkeram, sangat bermasalah.
Secara teknis,
kesepakatan ini akan dilaksanakan dalam tiga program: penyusunan
kurikulum sebagai tolok ukur keberhasilan kooperasi, magang, dan
kerjasama.
Tidak
sampai situ saja, bentuk penerapan kurikulum berbasis kooperasi di
perguruan tinggi juga dikuatkan dengan adanya Keputusan Bersama
Menteri Negara Kooperasi dan UKM dan Menteri Pendidikan Nasional
tentang Pendidikan Perkooperasian dan Kewirausahaan. Perjanjian di
antara kedua kementerian itu mengenai pendidikan kooperasi tercatat
sudah tiga kali diteken. Adapun tujuan diberlakukannya surat
keputusan bersama itu adalah untuk memasyarakatkan dan mengembangkan
perkooperasian dan kewirausahaan serta menyiapkan kader kooperasi dan
wirausaha yang profesional di segala lembaga pendidikan,
mulai tingkat dasar sampai tingkat tinggi. Adapun tujuan khusus bagi
pihak perguruan tinggi ialah seluruh perguruan tinggi diharapkan
mesti menempatkan perkooperasian sebagai mata kuliah atau sub-mata
kuliah atau sub-pokok
bahasan di semua program studi,
baik yang berbasis ekonomi maupun tidak. Dengan demikian,
kesan bahwa kooperasi hanya menjadi tanggung program studi ilmu
ekonomi saja pun akan berkurang.
Betapapun
sudah ada kebijakan dari pemerintah dan kerjasama dengan perguruan
tinggi demi memasukkan nilai-nilai kooperasi ke dalam kampus, dalam
praktiknya tidak semudah membalik telapak tangan. Masih ada
penyelanggara pendidikan tinggi yang belum memasukkan pengetahuan
tentang perkooperasian dalam kurikulum di seluruh program studi.
Melihat masih ada perguruan tinggi yang “nakal” itulah, tentu
perlu kita tunggu apa tindakan pemerintah selanjutnya. Di sini,
keberpihakan pemerintah terhadap gerakan kooperasi akan terlihat jika
ada usaha lain selain yang sudah penulis uraikan di atas.
Bercermin
dari Mondragon University
Salah
satu institusi pendidikan yang dibangun dengan sistem manajemen
berbasis kooperasi ialah Mondragon University. Mondragon University
adalah bagian dari gerakan kooperasi Mondragon yang berada di daerah
Basque, Spanyol.
Salah satu penggagas kooperasi Mondragon adalah Don
José MarÃa Arizmendiarrieta.
Didirikan pada 1997, sekarang jumlah mahasiswa Mondragon University
sekira 9.000
orang. Karena berkonsep kooperasi, para karyawan di sana diposisikan
sebagai pemilik universitas. Otomatis kebijakan dari kampus seperti
gaji akan cenderung tidak merugikan sebelah pihak. Karyawan atau
pekerja mempunyai akses untuk bersuara terkait kesejahteraan mereka.
Di
luar itu, kultur akademik di sana bersifat terbuka. Komunikasi antara
dosen dan mahasiswa ketika berbicara mengenai riset tidak
mengedepankan keuntungan pasar, tetapi lebih pada bagaimana hasil
kajian mereka mampu menyelesaikan problem masyarakat.
Pendidikan
bernapaskan kooperasi yang diadakan Mondragon tidak sebatas pada
tingkat perguruan tinggi,
tapi juga pada jenjang-jenjang di bawahnya. Menurut Arizmendiarrieta,
pendidikan dalam gerakan kooperasi tidak cukup hanya ditujukan untuk
mempertahankan gerakan kooperasi,
tapi juga untuk menghindarkan gerakan kooperasi dari pengambilalihan
oleh para penguasa tiran. Salah satu faktor yang mendorong pendirian
Mondragon adalah perlawanan terhadap kebijakan tangan besi pemimpin
Spanyol kala itu, Jenderal Franco.
Dari
sekelumit kisah Mondragon University tersebut,
kita bisa mempelajari bahwa pendidikan yang dibangun dengan semangat
kooperasi mampu menghadirkan semangat gerakan dalam melawan realitas
kesenjangan yang ada dalam masyarakat. Kesenjangan ini bisa saja
dilakukan oleh korporasi maupun pemerintah yang berpihak pada dan
berkongsi dengan kapital. Pendidikan ala kooperasi menjadi kunci bagi
terwujudnya gerakan kooperasi menuju terwujudnya masyarakat
sosialistis.
[]
Bahan
Bacaan
Bisnis.com.
2013. “Lembaga Pendidikan Formal Jadi Sarana Pemahaman
Perkoperasian.” 3 Desember. Diakses
pada 30 Oktober 2015.
http://industri.bisnis.com/read/20131203/87/190146/lembaga-pendidikan-formal-jadi-sarana-pemahaman-perkooperasian.
Boyle,
D. 2013. Media
Kooperasi & Kooperasi Media.
Yogyakarta: INSISTPress dan Gerakan Literasi Indonesia (GLI).
Burhan,
F.A. 2015. “Hilangnya Koperasi di Ranah Kurikulum Universitas.”
Himmah
Online
10 Februari. Diakses
pada 29 Oktober 2015.
http://lpmhimmahuii.org/2015/02/hilangnya-koperasi-di-ranah-kurikulum-universitas/.
Hatta,
M. 2015. Membangun
Koperasi dan Koperasi Membangun.
Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Roekminiati,
S. 2014. “Kajian Kurikulum Perkoperasian di Perguruan Tinggi: Studi
Kasus di Universitas Airlangga, Universitas Negeri Surabaya,
Universitas Dr. Soetomo.” Fonema
2 (3): 120–136.
Wikipedia.
Tanpa tahun. “SMK Koperasi Pontianak.” Diakses
pada 29 Oktober 2015.
https://id.wikipedia.org/wiki/SMA_Koperasi_Pontianak.
* Tulisan ini sebelumnya sudah dimuat di portal media kooperasi Literasi.co
http://literasi.co/mengevaluasi-pendidikan-kooperasi-kita/