Monday 14 March 2016

Ber-Literasi dengan Ber-Kontekstualisasi

Minggu siang kemarin saya menghadiri acara yang bertajuk "Mahasiswa Melek Media" yang diinisiasi oleh kawan-kawan Forum Komunikasi Pers Mahasiswa (FKPM) UII. Suatu perkumpulan yang beranggotakan persma-persma yang ada di UII. Acara ini bertujuan untuk mengajak mahasiswa agar lebih cerdas melihat dinamika media dewasa ini. Kemajuan teknologi sekarang ini menimbulkan potensi informasi dapat beredar dengan bebas dan cepat, sehingga memicu tersebarnya informasi yang kurang akurat. Comot sana comot sini tanpa diverifikasi terlebih dahulu kebenarannya.

Di atas kertas mahasiswa sebagai kaum yang hidup di dunia intelektual mesti memahami dinamika di atas. Di dunia intelelektual kita diharuskan berpikir terbuka, perbanyak riset, mengkomunikasikan pemikiran kita, hingga mengemasnya sebagai sebuah karya. Saya pikir hal-hal seperti ini sudah jamak dibicarakan di berbagai kesempatan, hingga kesannya malah sesuatu yang klise. Bagus secara teori, tapi minim yang mempraktekkan. Kenapa hal itu terjadi?

Yang menarik dari diskusi kemarin yakni ketika Yusdani, dosen FIAI yang juga Direktur Pusat Studi Islam (PSI) UII melontarkan kritiknya terhadap persma sekarang ini. Sebagai contoh, ia mengkritik kenapa LPM HIMMAH UII di majalah mereka mengeluarkan tema tentang Kesehatan Jiwa? Apakah tema itu relevan sesuai permasalahan yang masyarakat saat ini? Kira-kira seperti itu sepenangkapan saya. Intinya Yusdani mengkritik bahwa persma di UII atau pegiat media di UII mesti mempunyai analisis kritis yang mengakar dalam melihat kondisi masyarakat. Jangan terperangkap pada realita permukaan saja, tapi lihatlah sampai ke akar permasalahannya. Kebetulan LPM HIMMAH UII yang ia kritik tempat saya "kuliah" selama ini, dan majalah itu digarap ketika saya menjadi pemimpin umum. Saya tidak akan menjelaskan kenapa HIMMAH mengangkat itu, karena nanti tulisan ini hanya jadi ajang klarifikasi saja jadinya. Menurut saya ada yang lebih mengakar yang lebih penting kita bicarakan daripada itu. Yakni, apakah dengan kondisi akademik di kampus sekarang mampu memicu mahasiswa menciptakan analisis kritis secara mengakar? Apakah perangkat akademik yang lain seperti dosen-dosen sekarang ini mampu mempunyai andil terjadinya kondisi seperti itu, yang mana memang menciptakan kultur akademik yang komunikatif terhadap mahasiswa? Dan apakah perihal kritik yang mengakar memang menjadi tanggungjawab mahasiswa saja?

Selama hampir 4,5 tahun berkecimpung di dunia aktivis mahasiswa, saya sering dihadapkan pada pembandingan kapasitas aktivisme mahasiswa sekarang dengan mahasiswa sebelumnya. Secara semangat dan idealisme memang itu hal yang sangat memompa adrenalin untuk beraktivisme. Tapi ketika itu tidak dilakukan kontekstualisasi dengan kondisi dinamika sekarang maka itu hanya menjadi jargon belaka. Nostalgia masa lalu. Artinya, kita perlu merumuskan konsep aktivisme baru yang dipahami dan diterapkan sesuai keadaan sekarang.

Kaitannya di sini dengan kemampuan mahasiswa, khususnya UII dalam merumuskan pola pemikiran kritis yang inovatif. Ketika mahasiswa dihadapkan pada kelas kuliah yang tidak komunikatif, dosen yang marah ketika disangkal oleh mahasiswa, ruang diskusi yang minim, apakah adil kita mengatakan mahasiswa saja yang harus berubah? Coba ketika pertanyaan dibalik, bagaimana dengan kompetensi dosen ketika mengajar di kelas, apakah mereka sudah memberikan ruang dialog? Apakah dosen mendengarkan pendapat mahasiswa, jika ada yang melontarkan pembelaan mereka terhadap Syiah, Ahmadiyah, dan LGBT?

Kondisi kelas yang komunikatif inilah yang menurut saya menjadi yang pertama ditekankan jika kita ingin melihat pemikiran kritis yang mengakar dari masyarakat kampus. Tidak hanya dari mahasiswa saja, tapi juga dari dosen. Ruang komunikasi yang menerapkan Kontekstualisasi Pengetahuan. Membawa permasalahan yang terjadi di negara atau masyarakat yang nanti dibenturkan dengan konsepsi teoritis sesuuai konsen studi masing-masing. Di titik ini kita akan berusaha membawa ilmu pengetahuan untuk berpihak kepada masyarakat.

Selain berupa kelas akademik yang komunikatif, Kontekstualisasi Pengetahuan juga harus diterapkan dalam ranah lembaga mahasiswa. Jika sebelumnya saya menulis posisi persma sebagai ruang Kontekstualisasi Pengetahuan, kini tanggungjawab itu juga mestinya turut diterapkan oleh organisasi gerakan mahasiswa lain. Entah itu kelompok diskusi, organ ekstra, organ intra, dan lain sebagainya. Selama ini kita terlalu membedakan apa itu ranah organisasi gerakan dengan ranah akademik perkuliahan. Sehingga ada dampak jika kedua hal ini tidaklah sama. Padahal menurut saya kedua hal ini sangatlah berintegrasi. Saya memaknai setiap gerakan pada dasarnya harus berdasarkan keilmuan teori yang kuat, apapun disiplin ilmu itu. Dari disiplin ilmu itu akan ada sebuah idealita, ketika idealita sudah didapat, kita benturkan dengan realita. Di posisi ini kita jadi bisa melihat, ketika realita tidak sesuai idealita berarti ada sebuah masalah. Dan oleh karena itu, kita buat gerakan untuk mengkritik, bergerak sesuai wacana dari idealita. Komunikasi antar konsen studi inilah yang mesti terjadi di dunia gerakan mahasiswa. Sehingga pada dasarnya seorang aktivis harus kuat secara akademik. Karena dari mahasiswa seperti inilah akan terlahir intelektual yang berpihak kepada masyarakat. Digembleng secara teori di kelas, dan melakukan kontekstualisasi di organisasi gerakan mahasiswa. Tentunya kita tidak ingin kejadian akademisi lebih berpihak kepada korporasi daripada kepada rakyat yang sempat ramai dulu terjadi di masa depan.

FKPM UII menyelenggarakan acara bertajuk Mahasiswa Melek Media di Auditorium FTSP UII (06/03). (Foto: Dokumentasi Pribadi)

Selain hal di atas, momentum diskusi Minggu siang kemarin menjadi sejarah baru di dunia pers mahasiswa UII. Di era persma Fakultas dan Universitas tidak ada garis struktural, setahu saya baru pertama persma di UII membuat acara bersama dan dengan perspektif ideologis yang sama. Jika kerekatan ini dapat bertahan, FKPM UII mempunyai potensi menjadi wadah komunikasi antar elemen di UII. Tentunya melalui medianya masing-masing. Karena salah satu wujud komunikasi intelektual di UII ini lemah bisa dilihat produktivitas karya antar elemen yang kurang. Harapannya ketika ada isu, atau ingin menginisiasi suatu perspektif dan gerakan mulailah melalui media agar masyarakat secara keseluruhan lebih memahami. Menjadi dinamika menarik ketika ada mahasiswa dari lapisan A melontarkan opini di media persma, setelah itu ditanggapi oleh dosen jurusan B, dan ditanggapi oleh mahasiswa C. Itu saya pikir puncak dari suatu literasi media. Tidak hanya memahami mana informasi yang bermutu, tapi turut menggunakan media sebagai sarana intelektual.[]

Thursday 10 March 2016

Refleksi 49: Apa yang mesti dilakukan persma di UII sekarang?



Oleh: Moch. Ari Nasichuddin*

Sudah banyak ulasan yang memperdebatkan lebih penting mana organisasi dan kuliah. Sudah banyak pula yang berbicara aktif di lembaga mahasiswa cenderung dapat mengacaukan perkuliahan sesuai jurusan masing-masing. Begitu pula di pers mahasiswa. Aktivitas persma yang dituntut berwacana, berdiskusi, dan berkarya amat merenggut waktu-waktu untuk menjadi mahasiswa rajin, berprestasi, sukur-sukur IPK tinggi. Tapi apakah kira-kira tidak dikombinasikan konsen studi di perkuliahan dengan aktivitas persma?

Tidak mudah menjadi pegiat persma di kampus UII yang notabene lebih banyak rumpun eksak daripada sosial. Meskipun menurut saya ini bukan alasan, tapi pada prakteknya turut mempengaruhi kemampuan mahasiswanya menjadi sulit merespon pergolakan sosial masyarakat. Kadang mahasiswa yang dari rumpun sosial pun ikut ketularan asosial.

Dalam buku Ilmu dan Kapital, Najib Yuliantoro menuliskan bahwasanya ilmu pengetahuan tidak bisa dilepaskan dari kepentingan di belakangnya. Dengan posisi seperti ini akan ada potensi apakah ilmu pengetahuan akan diimplementasikan sesuai kemaslahatan umat atau untuk keuntungan golongan tertentu. Untuk itu melihat dinamika permasalahan sosial saat ini dibutuhkan manusia yang mampu mengontekskan segala macam konsen studi pengetahuan mereka demi kepentingan masyarakat. Kebutuhan akan manusia yang mampu mengontekskan pengetahuan inilah yang mesti dibaca oleh persma.

Kita mesti menyadari bahwasanya segala konsen studi apapun itu, entah kimia, informatika, hukum, dan sebagainya akan diimplementasikan ke masyarakat. Analisis teori dari konsen studi itu mampu menjadi pisau kupas untuk mengungkap apa yang sebenarnya terjadi terhadap suatu permasalah dan bagaimana seharusnya. Dan persma di UII sekarang harus membaca itu.

Persma di UII mesti memposisikan diri sebagai ruang kontektualisasi segala konsen studi yang ada di kampus. Kontekstualisasi ini membenturkan segala jurusan yang dengan problem masyarakat. Semisal dari studi Teknologi bagaimana mereka melihat manuver Jokowi ke kantor Facebook dan Google. Apa efek dari perkembangan teknologi di Indonesia setelah kerjasama pemerintah Indonesia dengan raksasa Teknologi itu. Kalaupun teknologi di Indonesia menjadi maju, siapa yang diuntungkan dari kemajuan itu? Apakah rakyat miskin di pelosok negeri atau kelas menengah perkotaan saja?

Atau dari studi Teknik Sipil, bagaimana baiknya teknik sipil memposisikan diri terhadap pembangunan hotel dan mall secara tidak beraturan di Jogja. Dan studi Ilmu Ekonomi juga bisa berbicara tentang nasib konsepsi kooperasi sekarang. Apakah konsep kooperasi Hatta dan Aidit masih relevan? Dan masih banyak kontekstualisasi studi yang bisa dilakukan.

Bicara perkembangan persma di UII memang tidak bisa dilepaskan dari kiprah LPM HIMMAH UII. Mengingat sebelum tahun 2000an, antara LPM Universitas dan LPM Fakultas mempunyai garis struktur. Mahasiswa yang ingin masuk HIMMAH mesti masuk LPM F sebelumnya. HIMMAH menjadi puncak aktivitas dari pegiat pers mahasiswa UII.

Namun sekarang sudah berubah. Garis sudah dihapuskan, dan setiap LPM sudah mempunyai otonomi sendiri. Program kerja dan keuangan tidak perlu teken dari PU HIMMAH untuk dijalankan. Kondisi sekarang saat ini sangat potensial untuk menjalankan kontekstualisasi pengetahuan di atas. Setiap persma fakultas akan mempunyai dinamika berbeda-beda dari segi kajian pemikiran dan karya. Dengan perspektif sesuai konsen studi setiap fakultas. Tentunya kalau ini dijalankan kegalauan apakah mahasiswa lebih mementingkan perkuliahan atau tidak ini dapat dihapuskan. Karena dengan keaktifan mereka di persma secara tidak langsung tidak bertentangan dengan studi mereka, karena mereka bisa melakukan pengonteksan teori yang dipelajari di bangku kuliah, dengan kondisi masyarakat.

Efek positif lain yang didapat kader persma-persma ketika lulus nanti akan lebih mampu berbicara (dan berpihak ) terhadap masyarakat. Dengan segala profesi yang akan jalani, entah itu jurnalis, advokat, programmer, apoteker, dan sebagainya. Persma di UII harus berpikir jauh sampai bagaimana kader persma berkiprah. Tidak hanya sebatas ketika masih jadi pengurus aktif saja, tapi bagaimana ketika mereka sudah menjadi alumni dengan tetap membawa nilai-nilai progresif yang mereka pelajari ketika di persma.

Khusus HIMMAH, dengan umur yang hampir setengah abad pastinya banyak torehan yang sudah diperbuat. HIMMAH harus menyadari umur mereka yang sudah tua ini. Pemikiran-pemikiran yang lebih modern mesti diciptakan oleh kader HIMMAH. Karena biasanya penyakit organisasi gerakan yang sudah tua adalah susah keluar dari pakem yang sudah dilakukan oleh generasi sebelumnya. HIMMAH harus bisa berkeluar dari itu. Posisi HIMMAH sebagai pers universitas menjadi tantangan sendiri bagaimana mereka  harus bisa mengkomunikasikan antar lintas ilmu yang harapannya menghasilkan pemikiran kritis terhadap permasalahan masyarakat. Inisiasi HIMMAH dalam kontekstualisasi akan turut mempunyai efek terhadap dinamika pers fakultas meskipun secara struktural tidak mempunyai garis.

Dengan umur hampir setengah abad sudah banyak kader persma yang lahir dari rahim HIMMAH. Entah itu sebelumnya juga aktif di pers fakultas atau hanya di HIMMAH saja. Untuk itu anggota persma di UII yang sudah bergabung dengan masyarakat perlu diorganisir dalam sebuah serikat. Serikat ini bisa jadi ruang koordinasi dan komunikasi bagaimana persma di UII melihat dinamika permasalahan bangsa dan bagaimana sikap, keberpihakan alumni persma di UII terhadap masalah itu.

Oleh karena itu, lagi-lagi penulis tekankan, persma di UII, khususnya HIMMAH harus berpikir jauh sampai bagaimana peran kader mereka berkontribusi bagi bangsa, bagi nusantara. Dengan mendasarkan diri pada kontekstualisasi pengetahuan, kader persma akan dilatih memihakkan studi mereka sesuai masalah yang ada. Dinamika kontekstualisasi ini akan turut membentuk pemikiran dan budaya anggota persma ketika sudah lulus. Aktivisme apa yang cocok sesuai bidang mereka, kontribusi politik apa yang bisa dilakukan, dan lain sebagainya. Karena akan sangat merugi jika persma di UII hanya berpikir dalam lingkaran sempit saja, tapi melalaikan kontribusi yang bisa dilakukan kader mereka terhadap nusantara.[]

*Pemimpin Umum LPM HIMMAH UII 2013-2015

Tuesday 8 March 2016

Impact from Technology. A Small Note from Philosophy of Technology and Engineers of Happy Land

Presiden Jokowi and First Lady visited Facebook Offie. (Photo: Mark Zuckerberg's Facebook)
By: Moch. Ari Nasichuddin

Two last book i have read is about technology. First, the title is Philosophy of Technology written by Francis Lim and Engineers of Happy Land. I will review the book's contents.

Philosophy of Technology tell how correlation between technology and social. From the beginning of the world, technology already exists alongside with human. Human use technology for live in this world. The technology like slippers for walk, knife for peeled a mango, and other. That's true we can tell technology as tool.

Because technology is tool, partiality from technology back to who use technology. With this position technology can use for something progressive or useless. One of the example is smartphone. If we use it for discussion about important topic about people, we can claim that use technology for something progressive. Otherwise, if we use it to talk about something harm, technology partiality is negative.

Technology role is replace from human doing activity everyday. But technology also can create new culture in live. For example is selfie, when smartphone with camera in front of released, people can capture self picture with theirs camera in smartphone.

Indigenous watering the roads. (Photo: Personal Document)

Rudolf Mrazek in Engineers of Happy Land writes development of technology in Hindia Belanda a few years ago. Technology that goes into Hindia Belanda had an effect on people's lives. On of them is developing roadway. Roadway construction be emphatic who is oppressing and oppressed. Who colonial and indigenous. Only colonial and priyayi can access roadway. Because in those days the only vehicles such as horse-drawn carriages are allowed through the streets. And who can access the vehicle as it was only the colonies and priyayi. Indigenous People only in charge of watering the roads to keep maintained. Other cases on the construction of the Tram in the Indies. Same as before only specific class can access Tram.

The above presentation is an example of where technology can be a tool to do colonization. Indies with technology policy try to build facilities for the sake of technology they exploit the wealth of the Nusantara.

In Indonesia goverment today, i have seen Presiden Jokowi is trying to boost the creative industries in the field of technology. When he visit to Silicon Valley, Jokowi invites large technology companies like Facebook and Google to work together to advance the technology of Indonesia. One of the real impact of this Jokowi visit one of Google's plan to help Indonesia gave birth to a new mobile programmer for several years.

Industry was also affected is Startup. I believe the next few years will Gojek applications such as rampant in some areas of Indonesia. Although now scattered in several major cities. But we can not get stuck on a little or a lot, but who will benefit from the technology industry symptoms? Are people in remote areas were able to use it? So far I still rate it only benefits the middle class only.[]

Thursday 17 December 2015

Menarik Kembali Media ke Tangan Publik


Oleh: Moch. Ari Nasichuddin

Sejarah keterlibatan pemuda dalam dunia media sudah ada sejak lama. Sudah terjadi sejak zaman kolonial. Media yang dikelola pemuda kala itu berisi pikiran-pikiran pemuda akan kondisi nusantara yang masih dirundung kemiskinan, angka buta huruf tinggi, hingga tanam paksa karena efek penjajahan. Media yang masih berwujud koran digunakan pemuda dan masyarakat untuk mengeluarkan dan mengekspresikan pikiran mereka. Koran-koran ini menjadi ruang dialog pemikiran dan menjadi ruang mengkritik pemerintah kolonial.

Sosok Tirto Adi Suryo yang oleh Pram diceritakan sebagai seorang Minke dalam novel Bumi Manusia menunjukkan bagaimana kegiatan jurnalistik menjadi faktor penting dalam gerakan. Tirto menjadikan media yang ia gawangi sebagai penyambung pemikiran aktivis yang saat itu masih berjalan sendiri-sendiri di daerah. Media ini menunjukkan keberpihakan yang jelas: memprovokasi rakyat agar bangun dan bergerak merebut kemerdekaan.

Mendekati kemerdekaan media yang dikelola pemuda berfungsi sebagai alat propaganda masyarakat. Berkoar-koar bahwa kemerdekaan harus direbut, kemerdekaan menjadi hak bangsa Indonesia. Dan kemerdekaan pun digenggam tangan bangsa Indonesia.

Pada pemerintahan soekano posisi media pemuda masih vital. Pemuda melalui media mengutarakan perspektif mereka tentang bagaimana republik yang masih muda itu dibangun. Setiap media mempunyai ideologi/arah gerak masing-masing. Dari yang islam, komunisme, marhaenisme, dan isme-isme yang lain. Organisasi pemuda di setiap partai mempunyai media sendiri untuk melakukan propaganda. Tak jarang ajang “serang” pemikiran pun terjadi. Itulah dinamika.

Arus gerak media yang dikelola pemuda/mahasiswa juga turut dipengaruhi kemana arus gerakan mahasiswa kala itu. Menjelang tahun 65 ke atas mahasiswa mengkritik keras pemerintahan Soekarno. Mahasiswa dan media mahasiswa pun turut ikut andil pada masa lengsernya kala itu.

Memasuki era Soeharto posisi gerakan mahasiswa yang tadinya mendukung Orde Baru berbalik arah mengkritik keras pemerintahan itu. Selama Orde Baru berkuasa naik turun gerakan mahasiswa khususnya pers mahasiswa terjadi. Pemerintah Orde Baru yang mempunyai pendekatan militer melakukan pembredelan terhadap persma. Hal ini karena persma sangat mengkritik keras pemerintahan Orde Baru yang berpihak ke barat, korupsi, nepotisme, hingga melanggar HAM.

Ketika masa orde baru media profesional pun juga turut terkena bredel. Terlebih lagi kala itu untuk membuat suatu media diperlukan izin dari departemen penerangan. Dengan prosedur ini Orde Baru melakukan filter (baca: pengendalian) pertumbuhan media di Indonesia.

Orde Media
Selepas Orde Baru usai, perkembangan media semakin menggila. Surat izin penerbitan yang sebelumnya menjadi syarat utama mendirikan media sudah dihapus. Media-media pun lahir dengan sendirinya.
Pasca Orde Baru ini juga kita diperlihatkan perkembangan media sosial yang dahsyat. Ditambah lagi munculnya perangkat telpon pintar yang berisi berbagai macam perangkat lunak untuk berkomunikasi. Lalu lintas informasi semakin mudah dan bahkan tidak terkendali.

Dalam buku berjudul Blur, Bill Kovach dan Tom Rosenstiel yang sebelumnya menulis buku Sembilan Elemen Jurnalisme mengenalkan istilah Tsunami Informasi. Istilah itu menunjukkan bahwa era sekarang informasi semakin banyak dan tak terkendali. Untuk itu seiring terbitnya buku Blur itu, Bill Kovach dan Tom Rosentiel menambahkan satu elemen lagi dari sembilan elemen yang sudah ada sebelumnya. Elemen tambahan ini menuntut warga turut bertanggungjawab juga atas informasi yang beredar dan diedarkan oleh warga sendiri. Tanggungjawab menuntut warga lebih cerdas dalam memilah informasi. Tidak saja langsung mempercayai, namun juga mempelajari keberimbangan berita yang ia baca. Dan sekiranya itu ada kesalahan, warga mesti melaporkan ke media bersangkutan agar berbenah diri.

Istilah Orde Media didapati penulis dari buku berjudul Orde Media yang diterbitkan atas kerjasama Remotivi dan INSISTPress. Buku Orde Media mengatakan setelah Orde Baru kepemilikan media jatuh di tangan oligarki yang menguasai industri media melalui kapital yang ia miliki. Tercatat media-media dimiliki individu yang ternyata juga sebagai politisi elit yang meramaikan blantika perpolitikan Indonesia. Taruhlah Surya Paloh dengan Metro TV dan Media Indonesia. Abu Rizal dengan TV One. Dan Dahlan Iskan dengan Jawa Pos-nya.

Dalam buku Orde Media dikatakan media-media seperti televisi masih menjadi favorit dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Hal ini menjadi riskan karena media ini turut membentuk pemikiran dan persepsi publik terhadap suatu isu. Otomatis ungkapan jika ingin menguasai sesuatu kuasailah media dapat dibenarkan, karena ketika media sudah dikendalikan maka secara tidak langsung juga turut mengendalikan opini publik.

Masyarakat Peduli Media (MPM) mengeluarkan buku berisi hasil penelitiaannya terhadap media yang dimiliki oleh politisi yang partainya ikut dalam Pemilu 2014 berjudul Media Terpenjara. Hasilnya diantaranya ada kecenderungan media yang dimiliki politisi itu melakukan “kampanye tersembunyi” untuk partai dari pemiliknya. Selain itu bentuk bingkai berita di dalamnya juga disesuaikan dengan kepentingan pemilik dari media tersebut. Jika ada kasus yang dinilai membahayakan kepentingan politik atau usaha yang pemilik, maka sebisa mungkin media itu tidak memberitakannya atau mungkin tetap memberitakan namun dengan wujud yang lebih “halus”.

Permasalahan media di atas merupakan wujud jika mengalami privatisasi. Kecenderungan pemberitaan media sangat dipengaruhi kapital yang dimiliki oleh pemiliknya. Sehingga media yang harusnya memberitakan kebenaran dan berpihak ke warga sesuai butir Sembilan Elemen Jurnalisme menjadi nihil.

Padahal ketika iklim informasi serba bebas seperti saat ini harusnya dibarengi kualitas jurnalisme yang bermutu. Jurnalisme mendalam yang berdasarkan riset kuat sekarang sangat dicari.

Kepemilikan tunggal media oleh politisi dan pengusaha, informasi yang membludak, media yang kurang memperhatikan norma-norma etika jurnalistik menjadi potret buram media masa kini. Lantas bagaimana ini bisa diubah?

Tawaran Memanajemen Media dengan Konsep Kooperasi
Pada tahun 2012, Dave Boyle menulis naskah berjudul Good News: A Co-operative Solustions to The Media Crisis. Dalam versi Indonesia-nya naskah ini diterbitkan dalam buku berjudul Media Kooperasi & Kooperasi Media (MKKM). MKKM menawarkan solusi atas permasalahan media yang sudah penulis uraikan di atas dengan jalan kooperasi. Konsep kooperasi dikenal dengan suatu sistem yang mendasarkan diri dengan kepemilikan bersama dan kerjasama antaranggota. Dalam konteks media, anggota kooperasi atau bisa kita sebut masyarakat menjadi pemilik bersama dari suatu media. Dengan kondisi ini kepentingan pemberitaan media dapat dikontrol dan sesuai kepentingan masyarakat.

Diluar itu dalam kualitas berita pun, media kooperasi dapat lebih terkendali karena pemilik-pemilik media ini mengontrol penuh kualitas dari isi konten berita. Tak hanya itu saja, media kooperasi memberikan kebebasan pada setiap pemiliknya untuk mengekspresikan pemikirannya dalam sebuah karya. Tanpa ada filter politik yang biasa terjadi media privat. Konsep media dengan kooperasi sebagai sistemnya sudah ada di beberapa negara. Sebut saja La Diaria di Uruguay dan Tageszeitung di Jerman. Konsep media kooperasi dapat menjadi tawaran dan usaha mengambil kembali media yang seharusnya menjadi milik publik dari tangan kepentingan politisi dan pengusaha. Atau ada solusi lain?[]

* Tulisan ini menjadi pemantik diskusi dalam Training Jurnalistik HMI MPO FH UII dan diskusi Media dan Jurnalisme di PMII Komisariat Wahid Hasyim UII.

Sumber bacaan:
Boyle, D. 2013. Media Kooperasi & Kooperasi Media. Yogyakarta: INSISTPress dan Gerakan Literasi Indonesia (GLI).
Wicaksono, A. P., dkk. 2015. Media Terpenjara: Bayang-bayang Pemilik dalam Pemberitaan Pemilu 2014. Yogyakarta: Masyarakat Pedul Media (MPM) dan TIFA.
Arief, Yovantra dan Utomo, Wisnu Prasetya. 2015. Orde Media: Kajian Televisi dan Media di Indonesia Pasca-Orde Baru. Yogyakarta: InsistPress dan Remotivi.
Burhan, F.A. 2015. “Hilangnya Koperasi di Ranah Kurikulum Universitas.” Himmah Online 10 Februari. Diakses pada 29 Oktober 2015. http://lpmhimmahuii.org/2015/02/hilangnya-koperasi-di-ranah-kurikulum-universitas/.

Pereira, Marcelo. 2015. “Media Kooperasi la diaria Uruguay: 'Mereka Bertahan di sini Karena Mereka Merdeka'”. Literasi.co 6 Juni 2015. Diakses 10 Desember 2015. http://literasi.co/media-kooperasi-la-diaria-uruguay-mereka-bertahan-karena-di-sini-mereka-merdeka/

Wednesday 9 December 2015

Mengevaluasi Pendidikan Kooperasi Kita*

Oleh: Moch. Ari Nasichuddin

Mohammad Hatta adalah salah satu tokoh perjuangan kemerdekaan yang mempunyai ide bahwa kooperasi merupakan ideologi ekonomi yang cocok untuk Indonesia. Selain itu, Hatta adalah salah satu perancang pasal tentang ekonomi dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, yakni Pasal 33. Informasi itu dikatakannya dalam buku berjudul Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun (MKKM), sebuah buku yang berisi kumpulan pidatonya pada setiap peringatan Hari Kooperasi rentang 1951 hingga 1970-an dan pidatonya pada pembukaan forum-forum kooperasi. Di buku itu, Hatta juga secara khusus mengupas bagaimana memperkuat kooperasi dari jalur pendidikan.

Memperkuat kooperasi dari jalur pendidikan menjadi penting karena pendidikan merupakan sarana untuk menanamkan ideologi kooperasi dari generasi ke generasi. Hatta berbicara tentang pendidikan kooperasi dalam MKKM pada artikel berjudul “Pendidikan Menengah Koperasi”. Secara ideologis Hatta mengatakan bahwa kooperasi yang dikehendaki oleh UUD 1945 ialah kooperasi sebagai dasar perekonomian. Ini berbeda dari kooperasi di Barat yang menjadi sarana untuk memperoleh pembagian yang lebih adil di tengah perekonomian kapitalisme dan untuk mencapai produksi dan penjualan yang lebih rasional. Sebagai dasar perekonomian, cita-cita kooperasi dimaksudkan untuk menentang individualisme dan kapitalisme secara fundamental. Paham kooperasi Indonesia menciptakan masyarakat Indonesia yang kolektif, berakar pada adat istiadat hidup bangsa Indonesia yang asli tapi ditumbuhkan pada tingkat yang lebih tinggi sesuai dengan tuntutan zaman modern. Sistem kerja kooperasi mengutamakan kerjasama dan suasana gotong royong dan bebas dari paksaan.

Pendidikan kooperasi mempunyai cita-cita membentuk orang dengan sifat-sifat yang diperlukan untuk mengembangkan kooperasi yang sejahtera. Hatta menyebut sifat-sifat itu terdiri dari: rasa solidaritas, individualitas, kemauan dan kepercayaan pada harga diri sendiri dalam persekutuan untuk melaksanakan self-help, cinta kepada masyarakat, serta rasa tanggung jawab moral dan sosial.

Dalam buku MKKM, Hatta mengatakan bahwa rasa solidaritas sebenarnya sudah dimiliki oleh bangsa Indonesia yang asli. Rasa tolong-menolong dan gotong royong sudah tertanam dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Untuk itu, harusnya rasa solidaritas tidak susah untuk diajarkan kepada para calon kader kooperasi, karena sejak awal mereka sudah tumbuh dalam budaya solidaritas yang kental. Tetapi, rasa solidaritas saja tidak cukup untuk membangun sebuah kooperasi ekonomi. Rasa itu hanya bisa dipergunakan untuk membangun kooperasi sosial yang dimaksud Hatta, seperti gotong royong dalam membuat rumah dan mengerjakan sawah. Selain butuh rasa solidaritas, untuk membangun kooperasi ekonomi juga diperlukan sifat individualitas.

Harus dipahami bahwa individualitas berbeda dengan individualisme. Hatta menjelaskan bahwa individualisme adalah paham yang mendahulukan orang-seorang dari masyarakat. Sementara itu, individualitas merupakan kesadaran seseorang akan kapasitasnya atau bisa dikatakan kepercayaan diri suatu individu. Kepercayaan diri ini tidak tumbuh begitu saja, mesti dipicu dengan didikan dan asuhan. Dan sifat tersebut menjadi kunci tumbuhnya rasa ingin mandiri, memperbaiki nasib dengan tenaga sendiri. Apabila dihubungkan dengan rasa solidaritas, semangat untuk mandiri ini akan semakin kuat.

Untuk merealisasikan visi pendidikan kooperasi di atas, visi tersebut perlu diajarkan pada setiap sekolah formal yang ada di Indonesia sebagai wujud konkret mencetak masyarakat yang berjiwa kooperasi. Untuk konteks sekolah formal, Hatta mengatakan dalam seminar kooperasi di Yogyakarta pada 1958, perlu dibentuk sekolah menengah kooperasi. Tujuannya adalah demi mewujudkan tenaga ahli dalam bidang kooperasi. Ahli di sini tidak hanya secara teknis tapi juga secara ideologi. Ide pembentukan sekolah menengah kooperasi didasari oleh keinginan Hatta dalam rangka mencetak kader-kader kooperasi di daerah, sehingga harapannya semakin banyak kooperasi yang berkualitas. Semenjak itu, banyak sekolah menengah kooperasi dibuka di berbagai daerah.

Sekolah Menengah Kooperasi Dewasa Ini
Lantas, apakah sekarang ini masih ada sekolah formal yang mengajarkan nilai-nilai kooperasi? Dan bagaimana nasib sekolah menengah kooperasi dewasa ini?

Sejauh penulis telusuri, riwayat sekolah menengah kooperasi saat ini berada di ujung tanduk. Sekolah-sekolah menengah kooperasi di beberapa daerah sudah gulung tikar. Sekolah menengah kooperasi yang tersisa salah satunya berada di Yogyakarta. Selain di Yogyakarta, ada SMP Koperasi, SMA Koperasi, dan SMK Koperasi di Pontianak. Cerita mencengangkan terjadi di SMK Koperasi Pontianak. Sekolah itu mau tidak mau mesti berkompromi dengan pasar agar mendapatkan perhatian publik. Masyarakat menilai sekolah formal dengan identitas kooperasi bukanlah hal yang menarik. Jalan keluar pun dibuat untuk memecah kebuntuan itu, salah satunya dengan menonjolkan kegiatan ekstrakurikuler di dalam sekolah. Kebijakan lain yang lebih radikal adalah membuka jurusan yang tidak berkaitan dengan ekonomi dan kooperasi. SMK Koperasi Pontianak pun membuka jurusan komputer dengan materi pelajaran rekayasa perangkat lunak. Pembukaan jurusan komputer ini didasari oleh pembacaan pihak pengelola sekolah bahwa masyarakat membutuhkan sekolah yang bisa mengasah keahlian khusus pada siswa, dalam hal ini adalah keahlian komputer.

Dari contoh tersebut, kita bisa melihat wujud keadaan sekolah formal yang notabene dijadikan sarana penanaman ideologi kooperasi malah tidak mampu hidup dan mesti mengikuti tuntutan pasar demi mendapatkan siswa. Otomatis sekolah seperti itu akan berkemungkinan kecil menghasilkan kader-kader kooperasi yang mampu mendirikan kooperasi di daerah mereka. Hal itu terbukti dari lulusan SMK Koperasi Pontianak. Lulusan sekolah itu belum ada yang bekerja di kooperasi atau mendirikan kooperasi. Padahal, Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah memosisikan sekolah formal sebagai sarana pemahaman perkooperasian.

Sebenarnya ada kaitan antara keberadaan sekolah formal beridentitas kooperasi yang jumlahnya terus berkurang dan kondisi gerakan kooperasi semasa Orde Baru (Orba). Kebijakan ekonomi Orba yang lebih meningkatkan pertumbuhan ekonomi industrialisasi turut menjadi faktor. Kooperasi mengalami perubahan nilai dan hakikat. Sistem pemerintahan terpusat pada masa Orba menjadikan kooperasi sebagai alat kepentingan politik guna menancapkan kuku-kuku kekuasaan sampai level bawah.

Pada aspek politik hukum, UU Nomor 12 Tahun 1967 tentang Koperasi dan perubahannya menjadi UU Nomor 25 Tahun 1992 dibangun dengan persepsi yang salah tentang kooperasi. Melalui Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1984, pemerintah mendorong Koperasi Unit Desa (KUD) yang sangat instan, politis, tidak memberdayakan dari bawah sesuai potensi manajemen, birokratis, dan sarat korupsi. Hal itu memunculkan stigma buruk terhadap kooperasi. Potret buruk itu membuat kooperasi di Indonesia menjelma sebagai wujud kegagalan pembangunan sehingga masyarakat pun memandang kooperasi sebelah mata. Kebijakan developmentalis semasa Orba membawa implikasi pada turunnya kepercayaan masyarakat terhadap sekolah formal yang mengedepankan kooperasi.

Pendidikan Kooperasi di Perguruan Tinggi
Tidak berhenti hanya pada pendidikan formal tingkat SMP, SMA, dan SMK, persoalan pendidikan kooperasi di tingkat perguruan tinggi juga memprihatinkan. Beberapa perguruan tinggi di Indonesia meniadakan mata kuliah kooperasi dari kurikulum belajar mereka. Hal ini dikarenakan mata kuliah kooperasi dinilai tidak populer (baca: tidak sesuai tuntutan pasar) dan mahasiswa memandang kuliah tersebut sebelah mata. Tidak mengherankan, generasi muda yang memahami ilmu tentang kooperasi pun makin sedikit. Menurut Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Sri-Edi Swasono, kondisi perguruan tinggi, khususnya fakultas ekonomi, yang sedemikian itu membuat perguruan tinggi di seluruh Indonesia berpihak pada kelompok kapitalis.

Mata kuliah kooperasi sekarang ini memang tidak menjadi mata kuliah utama, selain dipandang sebelah mata dan tidak bergengsi. Banyak kalangan yang menilai mata kuliah kooperasi tidak mampu memberikan daya tarik. Pengajaran mata kuliah kooperasi kurang memberikan contoh yang inspiratif dan memotivasi mahasiswa, serta tidak mampu memberikan ideological bearing untuk memantik semangat belajar dan komitmen ilmiah.

Kekurangan yang lain ialah pengajar atau dosen mata kuliah kooperasi belum mampu menandingi pemikiran ekonomi yang didominasi oleh sistem ekonomi pasar (liberalisme-kapitalisme). Pengajar belum mampu menyejajarkan peran ekonomi kerjasama (co-opperativism) dengan peran ekonomi yang berwacana persaingan (competitionism). Proses pembelajarannya pun kurang memberi contoh yang berisi studi kasus keberhasilan-keberhasilan kooperasi. Dosen seringnya kurang memadukan mata kuliah tersebut dengan mata kuliah lain, seperti ekonomi pembangunan, ekonomi perencanaan, dan sistem ekonomi. Tak jarang pula, mata kuliah kooperasi diajarkan dengan menekankan rentetan peristiwa daripada pemikiran dan perjuangan dari segala dimensi, mulai dimensi historis, sosial, kultural, hingga ideologi.


Semestinya mata kuliah kooperasi mampu mengajarkan ideologi ekonomi yang penuh dengan tuntutan moral-kultural dan motif-motif etis, mengingat sekarang ilmu ekonomi kurang akan nilai moral dan terlalu mengedepankan kepuasan maksimal dan keuntungan maksimal.


Ada dua posisi yang bisa ditempati mata kuliah kooperasi untuk menegaskan dirinya dalam sistem ekonomi, baik secara makro maupun mikro. Secara makro, mata kuliah kooperasi harus mampu untuk tidak hanya menjadi solusi atas sistem ekonomi yang sekarang, tapi juga mesti mampu menyebarkan semangat antieksploitasi, kedaulatan, dan demokrasi. Dengan demikian, mata kuliah kooperasi dapat menjadi pendorong demokratisasi ekonomi.


Untuk itu, dosen-dosen mata kuliah kooperasi mesti mengetahui perkembangan terbaru dari gerakan kooperasi, baik dalam negeri maupun mancanegara. Dosen pun perlu lebih kreatif dalam memberikan perspektif pemikiran guna menanggapi kondisi ekonomi yang tidak adil, cenderung eksploitatif, tidak partisipatif-emansipatif, termasuk proses swastanisasi yang bukan go public. Apabila dosen mampu merespons permasalahan ekonomi seperti telah disebutkan, harapannya mampu menarik semangat para mahasiswa, sehingga mahasiswa mampu menunjukkan kemauan terhadap permasalahan itu.


Secara mikro, mata kuliah kooperasi mesti mampu didorong kembali ke khittahnya, yakni untuk membangun kooperasi berdasarkan prinsip-prinsip dan nilai-nilai dasar kooperasi. Prinsip dan nilai ini sudah ditegaskan dalam kongres International Co-operative Alliance (ICA) pada 1995 di Manchester, Inggris, serta mengacu pada nilai dan prinsip pendidikan kooperasi yang dikemukakan Hatta.

Menghadapi kondisi pendidikan bercorak kooperasi yang buruk seperti sekarang, beberapa upaya telah dilakukan perguruan tinggi untuk tetap mengikat kurikulum ekonomi berbasis kooperasi dalam kampus mereka. Salah satu upaya itu ialah penandatanganan nota kesepakatan antara perguruan tinggi negeri/swasta se-Jawa Timur dengan Dewan Koperasi Indonesia Wilayah Jawa Timur dan Dinas Koperasi dan UMKM Provinsi Jawa Timur pada 6 Januari 2012. Implikasi penandatanganan nota kesepakatan itu ialah perguruan tinggi mesti mengajarkan kurikulum berbasis kooperasi. Dari situ, perguruan tinggi diharapkan mampu memberi pengertian teoretis bahwa paham neoliberal yang kini sedang mencengkeram, sangat bermasalah. Secara teknis, kesepakatan ini akan dilaksanakan dalam tiga program: penyusunan kurikulum sebagai tolok ukur keberhasilan kooperasi, magang, dan kerjasama.

Tidak sampai situ saja, bentuk penerapan kurikulum berbasis kooperasi di perguruan tinggi juga dikuatkan dengan adanya Keputusan Bersama Menteri Negara Kooperasi dan UKM dan Menteri Pendidikan Nasional tentang Pendidikan Perkooperasian dan Kewirausahaan. Perjanjian di antara kedua kementerian itu mengenai pendidikan kooperasi tercatat sudah tiga kali diteken. Adapun tujuan diberlakukannya surat keputusan bersama itu adalah untuk memasyarakatkan dan mengembangkan perkooperasian dan kewirausahaan serta menyiapkan kader kooperasi dan wirausaha yang profesional di segala lembaga pendidikan, mulai tingkat dasar sampai tingkat tinggi. Adapun tujuan khusus bagi pihak perguruan tinggi ialah seluruh perguruan tinggi diharapkan mesti menempatkan perkooperasian sebagai mata kuliah atau sub-mata kuliah atau sub-pokok bahasan di semua program studi, baik yang berbasis ekonomi maupun tidak. Dengan demikian, kesan bahwa kooperasi hanya menjadi tanggung program studi ilmu ekonomi saja pun akan berkurang.

Betapapun sudah ada kebijakan dari pemerintah dan kerjasama dengan perguruan tinggi demi memasukkan nilai-nilai kooperasi ke dalam kampus, dalam praktiknya tidak semudah membalik telapak tangan. Masih ada penyelanggara pendidikan tinggi yang belum memasukkan pengetahuan tentang perkooperasian dalam kurikulum di seluruh program studi. Melihat masih ada perguruan tinggi yang “nakal” itulah, tentu perlu kita tunggu apa tindakan pemerintah selanjutnya. Di sini, keberpihakan pemerintah terhadap gerakan kooperasi akan terlihat jika ada usaha lain selain yang sudah penulis uraikan di atas.

Bercermin dari Mondragon University
Salah satu institusi pendidikan yang dibangun dengan sistem manajemen berbasis kooperasi ialah Mondragon University. Mondragon University adalah bagian dari gerakan kooperasi Mondragon yang berada di daerah Basque, Spanyol. Salah satu penggagas kooperasi Mondragon adalah Don José María Arizmendiarrieta. Didirikan pada 1997, sekarang jumlah mahasiswa Mondragon University sekira 9.000 orang. Karena berkonsep kooperasi, para karyawan di sana diposisikan sebagai pemilik universitas. Otomatis kebijakan dari kampus seperti gaji akan cenderung tidak merugikan sebelah pihak. Karyawan atau pekerja mempunyai akses untuk bersuara terkait kesejahteraan mereka.

Di luar itu, kultur akademik di sana bersifat terbuka. Komunikasi antara dosen dan mahasiswa ketika berbicara mengenai riset tidak mengedepankan keuntungan pasar, tetapi lebih pada bagaimana hasil kajian mereka mampu menyelesaikan problem masyarakat.

Pendidikan bernapaskan kooperasi yang diadakan Mondragon tidak sebatas pada tingkat perguruan tinggi, tapi juga pada jenjang-jenjang di bawahnya. Menurut Arizmendiarrieta, pendidikan dalam gerakan kooperasi tidak cukup hanya ditujukan untuk mempertahankan gerakan kooperasi, tapi juga untuk menghindarkan gerakan kooperasi dari pengambilalihan oleh para penguasa tiran. Salah satu faktor yang mendorong pendirian Mondragon adalah perlawanan terhadap kebijakan tangan besi pemimpin Spanyol kala itu, Jenderal Franco.

Dari sekelumit kisah Mondragon University tersebut, kita bisa mempelajari bahwa pendidikan yang dibangun dengan semangat kooperasi mampu menghadirkan semangat gerakan dalam melawan realitas kesenjangan yang ada dalam masyarakat. Kesenjangan ini bisa saja dilakukan oleh korporasi maupun pemerintah yang berpihak pada dan berkongsi dengan kapital. Pendidikan ala kooperasi menjadi kunci bagi terwujudnya gerakan kooperasi menuju terwujudnya masyarakat sosialistis. []

Bahan Bacaan
Adventures in Free Schooling. 2008. “The Education of Mondragón.” 3 November. Diakses pada 27 Oktober 2015. https://freeschools.wordpress.com/2008/11/03/the-education-of-mondragon/.
Antaranews.com. 2012. “Sri Edi Swasono: Fakultas Ekonomi Memihak Kapitalis.” 6 Januari. Diakses pada 29 Oktober 2015. http://www.antaranews.com/berita/291654/sri-edi-swasono-fakultas-ekonomi-memihak-kapitalis.
Bisnis.com. 2013. “Lembaga Pendidikan Formal Jadi Sarana Pemahaman Perkoperasian.” 3 Desember. Diakses pada 30 Oktober 2015. http://industri.bisnis.com/read/20131203/87/190146/lembaga-pendidikan-formal-jadi-sarana-pemahaman-perkooperasian.
Boyle, D. 2013. Media Kooperasi & Kooperasi Media. Yogyakarta: INSISTPress dan Gerakan Literasi Indonesia (GLI).
Burhan, F.A. 2015. “Hilangnya Koperasi di Ranah Kurikulum Universitas.” Himmah Online 10 Februari. Diakses pada 29 Oktober 2015. http://lpmhimmahuii.org/2015/02/hilangnya-koperasi-di-ranah-kurikulum-universitas/.
Hatta, M. 2015. Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Matthews, D. 2013. “Inside a Cooperative University.” 29 Agustus. Diakses 28 Oktober 2015. https://www.timeshighereducation.com/features/inside-a-cooperative-university/2006776.article.
Roekminiati, S. 2014. “Kajian Kurikulum Perkoperasian di Perguruan Tinggi: Studi Kasus di Universitas Airlangga, Universitas Negeri Surabaya, Universitas Dr. Soetomo.” Fonema 2 (3): 120–136.
Solehudin, A. Tanpa tahun. “Ekonomi Kerakyatan dan Gagalnya Pembangunan Koperasi di Indonesia.” Diakses pada 31 Oktober 2015. http://indoprogress.blogspot.co.id/2007/11/ekonomi-kerakyatan-dan-gagalnya.html.
Suarakawan.com. 2012. “Gandeng Dinkop, PTN/PTS Siap Ajarkan Kurikulum Koperasi.” 6 Januari. Diakses pada 28 Oktober 2015. http://suarakawan.com/gandeng-dinkop-ptnpts-siap-ajarkan-kurikulum-koperasi/.
Sutardjo, S. “Komputer Sang Juru Selamat.” 1 April. Diakses pada 29 Oktober 2015. https://susansutardjo.wordpress.com/2012/04/01/komputer-sang-juru-selamat/.
Swasono, S.-E. 2003. “Koperasi sebagai Mata Kuliah di Universitas: Dapatkah Koperasi Menjadi Pilar Orde Ekonomi Indonesia?” 4 November. Diakses pada 28 Oktober 2015. http://www.ekonomikerakyatan.ugm.ac.id/My%20Web/sembul10_3.htm.

Wikipedia. Tanpa tahun. “SMK Koperasi Pontianak.” Diakses pada 29 Oktober 2015. https://id.wikipedia.org/wiki/SMA_Koperasi_Pontianak.

* Tulisan ini sebelumnya sudah dimuat di portal media kooperasi Literasi.co
http://literasi.co/mengevaluasi-pendidikan-kooperasi-kita/

Sunday 22 November 2015

Ideologi, Aspek Penting Menuju Masyarakat Intelektual*


Oleh: Moch. Ari Nasichuddin, S. Kom**

Mungkin Anda sudah pernah mengenal dengan kata “Ideologi”. Kata ini pernah dikenalkan dalam sekolah formal tepatnya tingkat SMP hingga SMA. Tapi penulis berasumsi pasti kata ini hanya lewat saja dalam pikiran karena memang sejauh pengalaman penulis dalam tingkat sekolah SMP-SMA, tidak ada mata pelajaran yang secara khusus mendalami ini. Benar?

Mari kita coba pelajari pelan-pelan. Wikipedia, situs ensiklopedia bebas mengatakan Ideologi dapat diartikan sebagai ide atau gagasan. Penafsiran lain diutarakan beberapa tokoh dunia salah satunya Machiavelli. Filsuf dari Italia ini mengatakan Ideologi adalah sistem perlindungan kekuasaan yang dimiliki oleh penguasa. Karl Marx, filsuf dan salah satu pengarang buku Manifesto Komunis mengartikan Ideologi merupakan alat untuk mencapai kesetaraan dan kesejahteraan bersama dalam masyarakat. Sedangkan Taqiyuddin An-Nabhani, tokoh muslim dari Palestina mengartikan, Mabda’ (ideologi) adalah suatu aqidah aqliyah yang melahirkan peraturan.

Dan penulis akan mencoba menyederhanakan dengan mengatakan: ideologi merupakan suatu dasar/ide yang dimiliki manusia, yang menjadi dasar untuk menjalani aktivitasnya selama hidup. Biasanya sebuah nama ideologi mempunyai akhiran “-isme”. Atau bisa kita bahasakan ideologi = kepentingan.

Kita pasti sadar bahwa dunia yang sedang kita pijak sudah mempunyai umur yang lama. Pastinya banyak ideologi yang lahir di bumi yang sudah tua ini. Apa saja ideologi itu? Ada beberapa peta ideologi di dunia ini, dan penulis akan mencoba mengenalkan kepada Anda, jika tertarik pada salah satu silakan dalami atau kita diskusi secara khusus di lain waktu. Karena makalah ini tidak akan membahas ideologi satu per satu dengan rinci. Penulis melalui makalah ini akan berusaha mengenalkan kepada Anda, apa itu Ideologi? Untuk apa Ideologi? Dan apa pengaruhnya bagi kita sebagai mahasiswa khususnya aktivis pers mahasiswa?

Secara umum peta ideologi di dunia dibagi menjadi dua sisi, yakni kanan dan kiri. Penyebutan ini mengacu dari pengaturan tempat duduk legislatif pada masa revolusi perancis. Kala itu, kaum berideologi sosialis, marxis, dan komunis bertempat di sebelah kiri. Itu lah kenapa ideologi ini sering dinamakan ideologi kiri dan organisasi yang memakai ideologi ini disebut organisasi kiri. Sedangkan kaum berideologi konservatif, liberal, agama, kapitalis, sering disebut kelompok kanan kala itu. Ideologi ini pun dikatakan kanan, atau ideologi kanan. Peta ideologi tersebut tidak tetap, masih bisa diperdebatkan sesuai argumen masing-masing. Penulis sendiri memaknai peta ideologi sebagai alat dalam memetakan kecenderungan tindakan dari sebuah ideologi.

Tidak semua ideologi akan penulis jabarkan, hanya beberapa saja. Ideologi ini kemungkinan besar akan sering banyak dibahas dan disebut dalam ruang sosial kita; Komunisme, Sosialisme, Kapitalisme, Liberalisme.

Pertama adalah Sosialime. Ideologi ini mempunyai misi membentuk kondisi masyarakat sama rasa sama rata. Kepentingan bersama menjadi titik tekan pada ideologi ini. Masyarakat sosialis, mengkritik privatisasi alat produksi yang biasanya terjadi pada negara kapitalis. Ide sosialisme juga menjadi dasar terwujudnya ideologi baru, contohnya Komunisme.

Ajaran Komunisme mengacu pada buku berjudul Manifesto Komunis karya Karl Marx dan Friedrich Engels. Ciri-ciri masyarakat komunis diantaranya adalah penghapusan penguasaan alat produksi atas kepemilikan pribadi dan mengalihkan kekuasaan itu kepada masyarakat luas. Masyarakat komunis menegaskan negara mesti mempunyai peran dalam proses menguasai alat produksi. Dengan begitu segala hal yang ada dalam negara tersebut, seperti alat produksi, hasil bumi, dan lain sebagainya dapat diperuntukkan seluas-luasnya untuk kepentingan masyarakat. Usaha yang dilakukan kaum komunis di atas adalah wujud menuju masyarakat sosialistik.

Selanjutnya Kapitalisme, ideologi ini bisa dimaknai sebagai sistem sosial yang menekankan peran kapital (modal) berbasiskan pengakukan hak-hak milik individu. Prinsip dasar kapitalisme mengacu pada kebebasan individu, kepentingan diri, dan pasar bebas.

Prinsip kebebasan individu dalam Kapitalisme inilah yang menjadi menjadi dasar kenapa terwujudnya Kapitalisme selalu dibarengi dengan terwujudnya Liberalisme. Liberalisme sendiri merupakan ideologi yang menekankan kebebasan dan meminimalisir akses pemerintah. Dalam prakteknya Liberalisme dapat menjadi pemulus jalan para pemilik kapital dalam tatanan masyarakat Kapitalisme. Karena masyarakat kapital yang sudah menguasai alat produksi akan semakin menjadi-jadi pada kondisi dimana negara aksesnya diminimalisir dan pasar bebas menjadi tujuannya.

Selain sedikit yang penulis jabarkan di atas, masih ada lagi ideologi yang pernah muncul di dunia ini. Seperti Fasisme, Feminisme, Marhaenisme, dan isme-isme yang lain. Kelak, Anda pun juga bisa menciptakan ideologi.

Ideologi-ideologi di atas lahir dari hasil pengamatan seseorang atas kondisi masyarakat yang ada. Seorang individu menilai ada yang janggal dengan kondisi masyarakat. Maka, ia pun merumuskan idealita atas realita yang. Idealita ini kelak akan disebut dengan Ideologi.

Untuk itu ideologi menjadi penting untuk kaum-kaum yang bergerak dalam aktivis perubahan sosial, salah satunya mahasiswa.

Untuk Apa Ideologi bagi Aktivis Persma?
Sudah dapat kita pahami di atas, ideologi adalah dasar manusia untuk bergerak. Untuk itu jika kita kontekskan dengan keberadaan mahasiswa, bagaimana kedudukan ideologi pada sebuah jatidiri mahasiswa? Tentunya kawan-kawan sekalian ketika mengikuti kegiatan ospek fakultas/universitas pernah dengan mendengar penyataan ini; mahasiswa sebagai agent of change, iron stock, social control. Bahasa gampangnya, mahasiswa merupakan agen perubahan dan kontrol sosial bagi kondisi masyarakat yang ada.

Maka untuk memenuhi tanggungjawab kawan-kawan sebagai mahasiswa di atas, diperlukan apa yang namakan ideologi. Karena, untuk membuat suatu perubahan bukankah mesti paham apa yang perlu diubah? Untuk mengkritik bahwa itu salah bukankah mesti tahu lebih dahulu apa itu benar? Untuk mengontrol kondisi masyarakat bukankah mesti punya alat untuk mengontrol?

Pertanyaan-pertanyaan di atas akan selesai jika kita memiliki ideologi. Lantas, bagaimana peran ideologi terhadap mahasiswa yang bergiat di dunia aktivis pers mahasiswa (persma)?

Pada dasarnya tanggungjawab aktivis persma dengan aktivis mahasiswa lainnya sama. Mereka ada untuk memenuhi tanggungjawab mahasiswa seperti yang saya sebutkan di atas. Namun tentunya untuk mewujudkan tanggungjawab tersebut diperlukan gerakan yang memposisikan budaya intelektual sebagai dasarnya.

Apa itu budaya intelektual? Saya membahasakan budaya inteletual dengan mengejawantahkan menjadi 3 hal; Membaca, Diskusi, dan Berkarya. Hal pertama yakni, membaca. Membaca di sini bukan saja membaca buku saja, tapi juga membaca kondisi sosial. Dengan membaca, ilmu yang berisi ideologi-ideologi akan masuk pada pemikiran mahasiswa. Otomatis poin pertama ini sangat penting dan menjadi kunci poin selanjutnya.

Kedua adalah diskusi. Diskusi adalah sarana dalam mengkomunikasikan ideologi atau pemikiran kita. Dengan diskusi aktivis mahasiswa dituntut untuk objektif. Adil sejak dalam pikiran jika kata Pramoedya Ananta Toer. Aktivitas diskusi dalam persma merupakan sarana menyampaikan gagasan sebelum diputuskan menjadi tema produk jurnalistik seperti majalah, buku, dan online. Karena dalam produk jurnalistik itu memuat karya aktivis persma dari tulisan, foto, ilustrasi, dan lain sebagainya. Karya inilah sebagai suatu aksi untuk merealisasikan pemikiran/ideologi dari aktivis Persma.

Poin terakhir adalah berkarya. Barusan penulis sudah mengatakan jika karya adalah wujud kongkrit dari sebuah ideologi. Di sini penulis ingin menegaskan bahwa karya aktivis persma seperti tulisan, foto, ilustrasi, dll tidak lepas dari ideologi orang yang bersangkutan. Karya persma tidak saja mengandalkan kualitas teknik, tapi juga mengutamakan makna dari karyanya. Untuk itu, sebelum berkarya, aktivis persma diwajibkan melalui proses berwacana atau berideologi. Karena ini penting sebagai dasar kawan-kawan dalam menciptakan suatu karya. Bukankah aneh jika tidak punya ideologi tapi sudah berkarya, mau buat karya apa kita?

Untuk itu peran ideologi menjadi sangat penting dalam persma. Penulis membahasakan ideologi adalah nafas bagi persma. Proses intelektual di atas contohnya berdiskusi bisa dinamakan proses bernafas bagi persma. Oleh karena itu jika diskusi dan daya baca persma tidak lancar, persma akan susah dalam bernafas. Lama kelamaan jika nafas ini semakin susah, persma akan mati (baca: tidak bisa berkarya).

Lantas apa ideologi dari persma itu?

Jika kita mengacu pada buku 9 Elemen Jurnalisme karya Bil Kovach dan Tom Rosenstiel bisa kita baca mau kemana orientasi persma. Persma harus mampu menyuarakan suara masyarakat yang tertindas. Masyarakat yang tidak mampu menyuarakan kepentingannya. Untuk itu persma mesti mampu menangkap permasalahan yang sedang menindas masyarakat dengan ideologi awak di dalamnya. Dan untuk memaknai seperti apa masyarakat yang tertindas itu, masyarakat yang mana? Buruh, petani atau sebagainya? Persma memberi ruang sdm di dalamnya untuk mengkomunikasikan setiap pemaknaan masyarakat tertindas versi mereka. Mau dikupas dari sisi Marhaenisme, Marxisme, Islamisme silakan. Persma membebaskan itu. Dan kebebasan ruang untuk mengkomunikasikan ini lah yang menjadi nilai tawar aktivis persma dibanding aktivis lainnya. Dengan budaya kebebasan berpendapat, berpikir, berideologi di atas harapannya persma mampu mencetak masyarakat dengan tingkat objetivitas intelektual yang tinggi. Mau menerima berbeda pendapat, mengkomunikasikan argumen dengan riset, dan mengkonversikan pendapat mereka dengan karya.

Selain itu proses berideologi dan berkarya di persma menjadikan organisasi ini sebagai tempat yang pas untuk menghubungkan konsen studi di setiap jurusan dalam kampus dengan kondisi realitas masyarakat. Kenapa harus dihubungkan? Karena kita harus memaknai bahwa ideologi/ilmu/wacana yang berkembang di kampus harus mampu menjawab persoalan masyarakat. Dan persma menjanjikan itu dengan ideologisasinya dan karyanya.

Jadi, sudahkah kawan-kawan memahami kenapa harus berideologi? Dan sudahkah memahami untuk apa ideologi dalam aktivitas kalian sebagai aktivis persma dan masyarakat nanti? []


*Disampaikan dalam materi Pengantar Ideologi In House Training (IHT) LPM HIMMAH UII 2015
**Pemimpin Umum LPM HIMMAH UII 2013-2015. Mahasiswa jurusan Teknik Informatika UII 2010. Selama beraktivitas di HIMMAH, banyak mendapatkan pandangan bagaimana menghubungan dunia informatika/teknologi dengan kondisi masyarakat melalui aktivitas jurnalistik. Saat ini menjadi Programmer di Geek Garden Software House dan Redaktur Pelaksana Media Kooperasi Literasi.co.

Referensi:
1. Newman, Michael. 2006. Sosialisme Abad 21: Jalan Alternatif Atas Neoliberalisme. Yogyakarta: Resist Book.
2. Sayyid Santoso Kristeva, Nur. 2015. Manifesto Wacana Kiri: Membentuk Solidaritas Organik Agitas dan Propaganda Wacana Kiri untuk Kader Inti Ideologis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
3. Rodinson, Maxime. 1982. Islam dan Kapitalisme. Bandung: IQRA.
4. Hiqmah, Nor. 2011. Pertarungan Islam & Komunisme Melawan Kapitalisme “ Teologi Pembebasan Kyai Kiri Haji Misbach. Malang: Madani.

5. Prasetyo, Eko. Bangkitkah Gerakan Mahasiswa. Yogyakarta: Resist Book.